“Aku ‘kan gak minta dilahirin!” ⚡⚡⚡
DUAR! Begitulah percakapan antara anak dan ibunya di suatu cerita tentang anak yang durhaka sebelum mendapat azab. Kamu mungkin pernah mendengar dan melihat kata-kata seperti itu. Di film drama, di media sosial, atau malah di dekat lingkungan sekitarmu.
Perdebatan panjang tentang anak dan orang tua acapkali jadi topik yang harus diperhatikan. Gak jarang, kedua belah pihak merasa sama-sama ‘dirugikan’. Anak yang merasa kurang dimengerti, dan orang tua yang merasa gak dihormati oleh anak. Untuk itu, sebenarnya, diperlukan rasa saling memahami dan komunikasi yang baik. Bahwa, “seperti ini, lho, sudut pandang anak,” dan, “seperti ini, lho, sudut pandang orang tua.”
Sebab pada akhirnya, anak dan orang tua sama-sama mengemban tanggung jawab yang sama: untuk memahami satu sama lain, untuk menjadi tempat pulang paling aman untuk satu sama lain, dan untuk memaknai bahwa eksistensi orang tua adalah anugerah bagi anak–begitupun sebaliknya.
Seperti yang dikatakan J.S. Khairen dalam bukunya, Dompet Ayah Sepatu Ibu:
Benar jika kau tak pernah memilih
lahir dari orangtua yang seperti apa.
Begitu juga orangtuamu,
mereka tak pernah memilih
melahirkan anak yang seperti apa.
Maka keduanya dapat tanggung jawab
dan anugerah yang sama.
Topik tentang hubungan anak-orang tua dan keluarga kerap diangkat oleh penulis-penulis dalam buku mereka, salah satunya J.S. Khairen. Dalam bukunya yang berjudul Dompet Ayah Sepatu Ibu, ia memaparkan pandangannya tentang keluarga melalui cerita apik yang ia bangun dengan dua karakter utama, Zenna dan Asrul, serta lewat puisi-puisi singkat di setiap awal bab baru. Lebih dari itu, J.S. Khairen juga menampilkan banyak isu sosial di buku ini, seperti kemiskinan struktural, guru-guru yang digaji sangat sedikit, daerah-daerah terpencil yang tidak terpapar digitalisasi, perbedaan kelas sosial, dan masih banyak lagi.
Dompet Ayah Sepatu Ibu adalah novel best seller dari J.S. Khairen yang diterbitkan oleh Penerbit Grasindo. Buku yang pertama kali terbit pada Agustus 2023 ini bahkan sudah dicetak berkali-kali karena banyak peminatnya. Berkisah tentang perjalanan jatuh dan bangun Zenna dan Asrul, anak-anak dari kampung dan miskin, yang memiliki banyak mimpi, yang mengalami banyak sekali gagal dan kesulitan sampai akhirnya dapat menggapai mimpi mereka satu persatu.
Novel fiksi ini mendapat banyak pujian dan review yang bagus dari pembacanya. Gramin juga jadi gak mau kalah dan ingin buat review juga, nih, Grameds! Buat Grameds yang belum tahu bukunya dan tertarik baca, yuk simak review Gramin tentang buku Dompet Ayah Sepatu Ibu berikut! 🥰
Sinopsis Buku Dompet Ayah Sepatu Ibu
Ada deras keringat ayah dan banjir tangis ibu dalam langkah kakimu hari ini.
Duna jahat dan kau kalah? Lihat telapak tanganmu. Ayah selalu menempa tangan itu agar tak menyerah. Ibu tak henti memapah tangan itu untu kberdoa. Bangkitlah untuk melangkah.
Ini kisah tentang ayah dan ibu, yang cintanya lahir bahkan sebelum kau lahir, yang cintanya tumbuh bahkan sebelum kau bertumbuh.
Ini kisah tentang ayah dan ibu, yang tangisnya mampu menyalakan api, yang tangisnya mampu memadamkan api.
Api paling panas menyala saat ayah dan ibu menangis kecewa. Api paling panas padam oleh tangis perjuangan ayah dan ibu. Maka, ingatlah selalu rumah.
Zenna lahir urutan keenam dari sebelas saudara. Ia bersama keluarganya tinggal di punggung gunung Singgalang. Saat kecil, Zenna sudah bekerja keras untuk hidup. Ia pergi ke sekolah dengan sepatu rombeng naik-turun gunung sambil membawa jagung rebus untuk dijual. “Besok Abak belikan sepatu baru kalau sudah dapat uang,” janji Abaknya pada Zenna sebelum berangkat ke sekolah. Namun tak sempat Abak tunaikan janji itu. Abak meninggalkan Zenna untuk selamanya, juga meninggalkan janjinya pada Zenna untuk membelikan sepatu. Sebagai anak tengah-tengah, Zenna jarang mendapat perhatian. Ia menumpahkan kesedihannya pada dirinya sendiri. Ia bekerja keras dengan mandiri. Ia ingin melanjutkan janji Abaknya untuk membelikan sepatu. Ia membeli sepatu untuk dirinya sendiri.
Di punggung gunung yang lain, gunung Marapi, Asrul dan adiknya Irsal harus membantu Umi untuk menghidupi diri. Bapaknya menikah lagi dan tinggal di rumah bersama istri keduanya, sehingga Umi, Asrul, dan Irsal pindah ke rumah peninggalan orang tua Umi. Berpisah dari Bapak. Meski Bapak kadang memberi mereka uang, itu tidaklah cukup. Setiap kali Asrul diberi uang oleh Bapak, Asrul selalu mengintip dompetnya, ada kayu manis yang diselipkan Bapak di sana. Asrul tak punya dompet karena ia tak pernah memegang uang. Bila pun dia punya, akan ia berikan pada Umi. Asrul ingin membuatkan rumah untuk Umi suatu saat kelak.
Asrul dan Zenna akhirnya bertemu. Mereka berdua bertekad mengangkat derajat dirinya dan keluarganya ke kehidupan yang lebih baik. Mereka bertemu di kampus. Koran Harian Semangat turut merekatkan hubungan mereka. Hingga kelak mereka menikah dan memiliki rumah. Umi dan Umak mereka bawa tinggal bersama. Kehidupan mereka walau sudah lebih baik, tidak juga mudah. Musibah datang berkali-kali.
“Kita pernah melewati yang lebih buruk dari ini,” kata mereka saling menguatkan.
Review Buku Dompet Ayah Sepatu Ibu Karya J.S. Khairen
Dari judulnya saja, kita sudah dapat mengetahui bahwa buku Dompet Ayah Sepatu Ibu mengangkat genre keluarga. Memiliki dua tokoh utama, Zenna dan Asrul, buku ini ditulis dengan sudut pandang terpisah pada bab-bab awalnya, bab sebelum Zenna dan Asrul bertemu. Bab-bab pertama bercerita tentang kesulitan Zenna yang tinggal di punggung Gunung Singgalang dan Asrul yang tinggal di punggung Gunung Marapi.
Meskipun banyak sedih dan tangis, ada kenyamanan dan kehangatan yang bisa kamu rasakan ketika membaca buku ini. Buku ini akan membawa kita seakan pulang ke rumah, mengingat mereka-mereka yang selalu menerima kita apa adanya, dan menerbitkan kenangan-kenangan yang pernah kita alami ketika masih menjadi anak-anak bersama orang tua.
Buku ini ditulis dengan bahasa yang sederhana dan paling mudah dipahami, walaupun ada beberapa bahasa daerah. Bagi pembaca pemula, buku ini pas banget karena menggunakan kata-kata yang sering kita dengar sehari-hari meski ceritanya sendiri cukup kompleks. J.S. Khairen mampu membungkus kepelikan dan keterpurukan tokoh utamanya menjadi sebuah buku 200 halaman yang bisa habis dibaca dalam satu duduk.
Kita juga diajak bertumbuh bersama Zenna dan Asrul; menyaksikan perjalanan hidup Zenna dari ia lulus SMA dan ditinggalkan Abak (Bapak) dan perjalanan hidup Asrul sejak ia masih kelas 1 SD dan dimarahi besar-besaran oleh Bapak karena tidak naik kelas, pertemuan pertama Zenna dan Asrul ketika akan mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru (Sipenmaru), sampai Zenna dan Asrul menua bersama menjadi kakek-nenek dengan beberapa cucu.
Kata demi kata dalam buku ini disusun dengan sangat mahir sehingga pembaca turut merasakan menjadi Zenna dan Asrul dan masuk ke dalam dunia fiksi yang dibangun oleh penulis, yang berlatar tempat di Sumatra Barat. Kisah demi kisah, adegan demi adegan terasa sangat nyata. Ternyata, cerita tentang Asrul memang ditulis oleh J.S. Khairen berdasarkan cerita hidup ayahnya sendiri. Ia mengakui hal tersebut lewat postingan Instagram yang ia bagikan.